Jean Baudrillard saat sedang mengajar di European Graduate School, Saas-Fee, Switzerland. (European Graduate School, June 12, 2004, http://www.egs.edu/. Foto dicomot dari laman wikipedia Jean Baudrillard).


Edit (7 Desember 2023): Pembaharuan naskah dengan versi yang terbaru, berdasarkan masukan proofread dari rekan saya, Mu’ammar Alif Z.S.R., yang saat ini berkerja sama dengan saya dalam satu biro/kelompok penerjemah, yaitu Pinandhita Ronrigata. Saya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuannya dalam hal ini.

Saya sudah lama mengincar untuk membaca secara penuh buku “Simulakra dan Simulasi” milik Jean Baudrillard setelah sangat tertarik dengan ide dan gagasan terkaitnya saat masih di bangku kuliah. Karena itu, sebagai tantangan untuk saya sendiri, saya berusaha menerjemahkan (paling tidak) salah satu bab buku tersebut. Mungkin dalam beberapa bulan ke depan saya akan selesai membaca keseluruhan bukunya.

Satu hal yang perlu diperhatikan dari (bab) buku ini adalah bahwa ini adalah sebuah teks filosofis alih-alih sebuah teks ilmiah, yang kemudian mempengaruhi bagaimana upaya penjelasan ide-ide dalam paragraf-paragrafnya secara keseluruhan. Salah satu goal yang ingin saya capai dalam terjemahan ini adalah berupaya membuatnya sejelas mungkin bagi mereka yang paling tidak tahu akan Baudrillard dan gagasannya, dengan masih menjaga gaya tulisan dari bab ini.

Sama dengan artikel sebelumnya yang merupakan hasil terjemahan dari terjemahan, artikel ini didasarkan kepada terjemahan Bahasa Inggris yang ditulis oleh Sheila Faria Glaser, dalam buku berjudul Simulacra and Simulation dari tulisan J. Baudrillard berjudul  Simulacres et Simulation.

…mungkin suatu saat saya akan menambahkan ringkasan dari bab ini.


…The simulacrum is never that which conceals the truth—it is the truth which conceals that there is none. The simulacrum is true. - Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation


Simulakra dan Fiksi Ilmiah

Tiga tingkatan simulakra:

simulakra yang natural, naturalis, berdasarkan kepada imaji, kepada imitasi dan tiruan, yang harmonis, optimistik, dan bertujuan akan restitusi atau pranata ideal alam yang dibentuk dari imaji Tuhan;

simulakra yang produktif, produktifis, berdasarkan energi, daya, yang materialisasinya dari mesin dan keseluruhan sistem produksi – tujuan Prometean dari globalisasi dan ekspansi yang terus menerus, dari pembebasan energi tak terbatas (keinginan dan harapan masuk ke dalam Utopia berkaitan dengan tingkatan simulakra ini);

simulakra dari simulasi, berdasarkan informasi, model, permainan sibernetik - operasionalitas total, hiperrealita, upaya untuk kendali total.

Di dalam kategori pertama terdapat imajiner tentang Utopia. Di dalam kategori kedua terdapat fiksi ilmiah, secara spesifik. Kategori ketiga berhubungan kepada - apakah ada imajiner yang dapat berhubungan dengan tingkatan ini? Jawaban yang paling mendekati adalah bahwa imajinasi lawas dari fiksi ilmiah telah mati dan sebuah hal yang baru sedang dalam proses kemunculan (tidak hanya dalam fiksi namun juga teori). Nasib yang tak menentu ini membawa akhir bagi fiksi – dan juga teori – ilmiah, sebagai genre yang spesifik.

Tidak ada yang nyata, tidak ada imajiner kecuali pada suatu kesenjangan. Apa yang terjadi saat jarak ini, termasuk jarak antara yang nyata dan imajiner, seringkali meruntuhkan dirinya sendiri, untuk diserap kembali oleh model? Dari satu tingkatan simulakra ke tingkatan yang lain, kecenderungannya mengarah kepada penyerapan kembali jarak ini, celah yang meninggalkan ruang untuk proyeksi yang ideal maupun kritis.

Proyeksi ini termaksimalkan dalam Utopian, di mana sebuah ruang transenden, semesta yang sangat berbeda terwujudkan (mimpi romatik masih merupakan bentuk individual dari Utopia, di mana transendensi ini diuraikan secara mendalam, bahkan dalam struktur bawah sadar, namun bagaimanapun disosiasi dari dunia nyata dimaksimalkan, pulau Utopia berdiri berseberangan dibandingkan kontinen kenyataan).

Proyeksi ini berkurang drastis dalam fiksi ilmiah: seringkali wujudnya hanyalah proyeksi tak terbatas dari proses produksi dunia nyata, namun secara kualitatif tidaklah berbeda jauh darinya. Ekstensi, kecepatan, dan daya mekanis atau energetik yang meningkat secara eksponensial hingga pangkat n, namun dengan skema dan skenario dari mekanika, metalurgi, dst. Proyeksi hipostasis dari robot. (Dalam semesta yang terbatas dari era praindustri, Utopia menentang semesta alternatif yang ideal. Dalam semesta produksi yang berpotensi tanpa batas, fiksi ilmiah menambah penggandaan dari kemungkinan yang dimilikinya.)

Proyeksi ini benar-benar diserap kembali dalam era implosif model-model. Model-model tidak lagi mengandung transendensi ataupun proyeksi, mereka tidak lagi mengandung imajiner terkait kenyataan, mereka sendiri adalah antisipasi dari kenyataan, sehingga kemudian tidak memberi ruang bagi bentuk apapun dari antisipasi fiksional – mereka bersifat imanen (yang tetap ada), sehingga tidak memberi ruang bagi bentuk apapun dari transendensi imajiner. Bidang yang dibuka olehnya berupa simulasi dalam artian sibernetik, yaitu, berupa manipulasi dari model-model tersebut dalam segala tingkatan (skenario, bagaimana terbentuknya situasi yang disimulasikan, dst.) namun kemudian tidak ada yang membedakan operasi ini dengan operasi itu sendiri dan terbuahkannya yang nyata: fiksi kemudian menjadi tiada.

Kenyataan dapat melampau fiksi: ini adalah tanda paling pasti dari kemungkinan adanya imajiner yang semakin bertambah. Tapi real tidak dapat melampaui model - keberadannya bukan lain sebagai alibinya.

Imajiner adalah alibi dari yang nyata, dalam dunia yang didominasi oleh prinsip kenyataan. Sekarang, real menjadi alibi dari model, dalam dunia yang dikendalikan oleh prinsip simulasi. Dan, secara paradoks pula, yang nyata telah menjadi Utopia bagi kita yang sebenarnya - namun sebuah Utopia yang tidak lagi dalam jangkauan kenyataan, yang hanya bisa dimimpikan layaknya seseorang mengidamkan benda yang hilang.

Mungkin fiksi ilmiah dari era sibernetik dan hiperreal hanya dapat menghabiskan keberadaannya sendiri, dalam upaya artifisial pembangkitan kembali dunia “historis”, hanya dapat berupaya merekonstruksi in vitro, hingga ke detail terkecil, perimeter dari dunia sebelumnya, peristiwa, orang, ideologi masa lalu, terkosongkan akan makna, dari proses asalnya, namun berhalusinasi dengan kebenaran yang restropektif. Demikianlah dalam Simulacra buatan Philip K. Dick, perang Pemisahan Diri. Hologram raksasa tiga dimensi, di mana fiksi tidak akan lagi menjadi cerminan yang mengarah kepada masa depan, namun halusinasi ulang penuh keputusasaan atas masa lalu.

Kita tidak lagi dapat membayangkan semesta lain: berkah transedensi atas hal itu telah diambil pula dari kita. Fiksi ilmiah klasik adalah yang berupa semesta yang berkembang, selain itu, ia juga membentuk jalurnya berdasarkan narasi eksplorasi spasial, yang erat dengan bentuk terestrial dari eksplorasi dan kolonialisasi pada abad kesembilan belas dan dua puluh. Tidak ada hubungan kausalitas dalam hal ini: bukan karena ruang terestrial saat ini secara virtual dikodekan, dipetakan, dicatatkan, jenuh, telah dalam konteks ini tertutup kembali dalam upaya universalisasi dirinya sendiri - sebuah pasar universal, bukan hanya atas barang dagangan, namun juga nilai, simbol, model, tanpa menyisakan ruang untuk imajiner – tidak sepenuhnya karena hal ini semesta eksploratoris (teknis, mental, kosmik) dari fiksi ilmiah juga berhenti berfungi. Namun keduanya berhubungan erat, dan mereka merupakan dua versi dari proses secara umum yang sama atas implosi yang menyusul proses raksasa dari ledakan dan ekspansi yang khas dari abad yang lampau. Ketika sebuah sistem mencapai batasnya dan menjadi jenuh, akan muncul proses berkebalikan – hal yang lain akan menggantikannya, dalam imajiner pula.

Hingga sekarang kita selalu memiliki cadangan atas imajiner - sekarang koefisien dari realita berbanding lurus dengan cadangan imajiner yang memberinya bobotnya yang spesifik. Hal yang sama juga terjadi dalam eksplorasi geografis dan spasial: ketika tidak ada lagi wilayah yang tak terjamah, dan kemudian terdapat satu yang tersedia dalam imajiner, ketika seluruh teritori telah terpetakan, hal seperti prinsip realita menghilang. Dalam hal ini, penaklukan ruang merupakan sebuah jalan satu arah yang mengarah kepada hilangnya referensi terestrial. Terdapat pendarahan realita sebagai koherensi internal dari semesta yang terbatas, setelah batas dari semesta ini menghilang hingga infinitas. Penaklukan ruang yang terjadi setelah dari planet adalah serupa dengan derealisasi (dematerialisasi) dari ruang manusia, atau mentransfernya ke dalam hiperreal dari simulasi. Misalnan sebuah rumah sederhana ini ditempatkan pada orbit, diangkat kepada kekuatan spasial (dapat dikatakan demikian) dengan menggunakan modul lunar terbaru. Keseharian dari habitat terestrial sendiri terangkat menuju tingkatan dari nilai kosmik, terhipostasi di luar angkasa – satelitasi dari real dalam transendensi ruang angkasa - inilah akhir dari metafisik, akhir dari fantasma, akhir dari fiksi ilmiah - awal mula dari era hiper-realita.

Setelah ini, akan ada perubahan yang pasti terjadi: proyeksi, ekstrapolasi, hal semacam kelebihan pantografis yang menyusun daya tarik dari fiksi ilmiah menjadi tidak mungkin. Tidak lagi mungkin untuk memfabrikasi yang tidak nyata dari yang nyata, imajiner dari apa yang diketahui atas yang nyata. Prosesnya akan menjadi berkebalikan: ia akan menjadi upaya untuk menempatkan situasi yang terdesentralisasi, model-model dari simulasi pada tempatnya dan membuatnya memiliki rasa yang sama dari yang nyata_,_ dari yang banal, dari pengalaman hidup, untuk menemukan kembali yang nyata sebagai fiksi, tepatnya karena keberadaanya telah menghilang dalam kehidupan kita. Halusinasi dari yang nyata, dari pengalaman hidup, dari yang biasa terjadi sehari-hari, namun dikonstitusi ulang, terkadang jauh hingga detail yang meresahkan, dikonstitusi ulang sebagai cadangan hewani atau nabati, dibawa menuju cahaya dengan ketepatan yang transparan, namun tanpa substansi, diderealisasi terlebih dahulu, terhiperrealisasikan.

Dengan begini, fiksi ilmiah tidak akan lagi menjadi ekspansi romantis dengan segala kebebasan dan kenaifan dari pesona atas penemuan, namun, sebaliknya, akan berevolusi secara implosif dalam gambaran dari konsepsi kita saat ini atas alam semesta, berupaya untuk merevitalisasi, mengaktualisasi ulang, mengkuotasi ulang fragmen dari simulasi, fragmen dari simulasi universal yang telah menjadi apa yang kita sebut sebagai dunia nyata.

Dimana karya yang akan menemui, di tempat dan saat ini, inversi situasional ini, reversi situasional ini? Jelas bahwa cerita pendek dari Philip K. Dick tertarik ke dalam ruang ini, layaknya tertarik oleh gravitasi, jika dapat dikatakan demikian (Namun justru karena itulah hal ini tidak lagi dapat dikatakan demikian, karena semesta baru ini bersifat “antigravitasional”, atau jika masih memiliki kecenderungan sedemikian rupa, akan mengitari lubang dari yang nyata, mengitari lubang dari imajiner). Tidak akan terlihat di sana kosmos alternatif, dongeng ataupun eksotisme kosmik, atau kegagahan galaktik - sedari awal berada dalam simulasi total, tanpa asal usul, imanen, tanpa masa lalu, tanpa masa depan, sebuah difusi dari semua koordinat (mental, temporal, spasial, sinyal) - ini bukanlah tentang semesta paralel, semesta ganda, atau bahkan semesta yang mungkin terjadi - tak ada yang mungkin, tidak mungkin, tak ada yang nyata ataupun tidak: hiperreal - adalah semesta dari simulasi, yang merupakan hal yang sama sekali berbeda. Dan bukan karena Dick menyebut secara spesifik atas simulakra - fiksi ilmiah memang selalu melakukan hal ini, namun dilakukan secara ganda, digandakan atau berlipat ganda, baik artifisial atau imajiner, sedangkan dalam hal ini hal ganda ini telah menghilang, tidak ada lagi yang ganda, selalu berada di dunia lain, yang tidak lagi sebuah “yang lain”, tanpa cermin, proyeksi, atau Utopia yang dapat merefleksikannya - simulasi merupakan hal yang tak bisa diatasi, tak dapat ditandingi, kusam dan datar, tanpa eksterioritas - kita tidak akan lagi melewati “sisi lain dari cermin,” seperti saat era keemasan transedensi.

Mungkin contoh lain yang lebih meyakinkan adalah dari Ballard dan evolusinya dari awal yang berupa cerpen “fantasmagorik”, puitis, seperti mimpi, mengacaukan arah, hingga Crash, yang tidak dipungkiri (melebihi IGH atau Concrete Island) saat ini merupakan model dari fiksi ilmiah yang tidak lagi menjadi rupanya. Crash adalah dunia kita, tidak ada di dalamnya yang “diciptakan”; semua yang ada di dalamnya hiper-fungsional, baik sirkulasi dan ketidaksengajaannya, teknik dan kematian, seks dan lensa fotografis, keseluruhannya seperti sebuah raksasa, yang sinkron, mesin yang disimulasikan: dengan kata lain percepatan dari model kita, dari seluruh model yang mengelilingi kita, tercampur dan berhiperoperasional di dalam kekosongan. Hal ini yang membedakan Crash dari hampir semua fiksi ilmiah, yang kebanyakan masih berkutat kepada hubungan lama (mekanikal dan mekanistik) fungsi/difungsi, yang diproyeksikan kepada masa depan dalam tingkat kekuatan dan finalitas yang sama dengan apa dari semesta yang “normal”. Fiksi dalam semesta tersebut bisa saja melampaui kenyataan (atau sebaliknya: yang lebih tak kentara) namun masih bermain dalam aturan yang sama. Dalam Crash, di dalamnya tidak ada fiksi ataupun kenyataan lagi - hiper-realita menghapus keduanya. Di sana lah fiksi ilmiah kontemporer kita, jika ada hal yang sedemikian rupa, ada. “Jack Barron or Eternity”, beberapa bagian dari “Everyone to Zanzibar”.

Nyatanya, fiksi ilmiah dalam artian ini tidak lagi dimana saja, dan berada di mana-mana, di dalam peredaran model-model, di saat dan tempat ini, di dalam prinsip dari simulasi di sekelilingnya. Keberadaannya dapat muncul dalam kondisi mentahnya, dari inersia itu sendiri dari dunia operasional. Apa yang penulis fiksi ilmiah dapat “mengimajinasikan” (namun secara tepatnya hal itu tidak lagi dapat “diimajinasikan”) “realita” ini dari pabrik-pabrik Jerman Timur - simulakra, pabrik yang menggunakan ulang semua yang menganggur untuk mengisi semua peran dan semua pos dalam proses produksi tradisional namun tanpa menghasilkan apapun, yang aktivitasnya dikonsumsi dalam permainan tingkatan, kompetisi, tulisan, pembukuan, antara satu pabrik dengan yang lain, di dalam jaringan yang luas? Semua materi produksinya dilipatgandakan dalam kekosongan (salah satu dari pabrik simulakra tersebut bahkan “benar-benar” gagal, menempatkan penganggurannya kembali untuk kedua kalinya). Ini lah simulasi: bukan bahwa pabrik-pabrik itu adalah hal yang palsu, namun tepatnya bahwa mereka adalah nyata_,_ hiperreal, dan karena hal inilah mereka mengembalikan semua produksi “nyata”, yaitu yang berupa pabrik yang “serius”, kepada hiperrealita yang nyata. Yang menarik bukanlah pertentangan antara pabrik yang nyata dan palsu, namun sebaliknya kurangnya distingsi antara keduanya, fakta bahwa semua sisa produksi tidak memiliki referensi yang lebih besar atau finalitas yang lebih dalam dibandingkan bisnis “simulakra!” ini. Pengabaian hiperreal ini lah yang menyusun kualitas “fiksi-ilmiah” yang nyata dari episode ini. Dan dapat dilihat pula bahwa tidak hal ini tidak perlu diciptakan: ia ada di sana, muncul dari dunia tanpa rahasia, tanpa kedalaman.

Tidak diragukan lagi, hal yang paling sulit sekarang, dalam semesta fiksi ilmiah yang kompleks, adalah untuk mengurai apa yang masih patuh (dan sebagian besar masih demikian) dengan imajiner dari tingkatan kedua, dari tingkatan produktif/proyektif, dan apa yang telah datang dari kesamaran dari imajiner, dari ketidakpastian yang sesuai atas tingkatan ketiga simulasi. Karena itulah dapat terlihat perbedaan antara robot mesin mekanis, yang khas dari tingkatan kedua, dan mesin sibernetik, komputer, dll., yang, dalam prinsip yang mengaturnya, bergantung kepada tingkatan ketiga. Namun tingkatan yang satu dapat mengkontaminasi yang lain, dan komputer pastinya dapat bekerja sebagaimana mesin super mekanikal, superrobot, mesin berkekuatan super, menyibak sang jin produktif dari simulakra tingkat kedua: komputer itu tidak turut serta sebagai proses simulasi, dan ia masih menjadi saksi mata atas refleks dari sebuah semesta yang final (termasuk ambivalensi dan pemberontakan, seperti komputer dari 2001 atau Shalmanezer dalam Everyone to Zanzibar).

Antara operatik (status teatrikal dari teatrikal dan mesin fantasis, “opera megah” dari teknik) yang berhubungan dengan tingkat pertama, operatif (industrial, status produktif, produktif dari daya dan energi) yang berhubungan dengan tingkat kedua, dan operasional (sibernetik, ketidak sengajaan, status ketidak pastian dari “metateknik”) yang berhubungan dengan tingkat ketiga, semua halangan masih dapat diproduksi sekarang dalam tingkat dari fiksi ilmiah. Namun hanya tingkat terakhir lah yang masih dapat menarik perhatian kita.