Aku terdorong untuk menulis tentang menulis setelah membaca entri jzhao tentang writing.
Kenapa menulis?
Ada dua hal yang menjadi alasanku menulis saat ini. Pertama, menata pemikiran. Kedua, log dari apa yang telah kubaca. Kedua hal ini pada dasarnya berhubungan satu sama lain.
Secara lisan, aku merasa kalau penjelasanku terlalu bertele-tele atau bahkan tidak terarah, terlebih jika dilakukan unprompted. Berbicara terlalu cepat, poin pembicaraan seringkali lompat dari satu hal ke hal yang lain, dst. Catatan kecil sebagai pengarah topik bisa membantu, tapi tentu nggak fungsional dalam banyak situasi. Nggak masalah kalau ini cuma ngobrol santai (todo: flow of conversation), tapi dalam pembicaraan yang lebih serius jelas menjadi masalah.
Note
Masalah diatas, kalau dipikir kembali, berlaku kepada semua hal yang sifatnya unprompted, alih-alih seputar bicara tanpa arah. Case on point: saat aku membagikan status di Facebook, beberapa diantaranya bakal memantik diskusi, atau paling tidak pertanyaan yang nadanya menyanggah ataupun memang secara genuine bertanya karena kurang/ingin tahu seputar yang aku bagikan. Aku membuka lebar kesempatan-kesempatan seperti ini, karena lebih baik daripada respon yang bernada hostile. Tapi responku bakal jauh lebih pendek foresightnya dibandingkan ketika aku menulis status tersendiri, karena aku memang nggak merencanakan diskusi ini terjadi - it is unprompted. Bandingkan responku di post seperti ini (seputar penggunaan gambar AI untuk gambar
#AllEyesOnRafah
) dengan ini (seputar degradasi event wibu yang makin lama hanya sebagai penarik massa), meskipun trafficnya beda - aku ngerasa responku di post pertama lebih acakadut, semrawut, nggak tertata, karena bukan hasil pemikiran yang, paling tidak, agak mendalam.
Karena ini aku lebih nyaman menulis. Aku bisa menata gaya tulisan sebagaimana yang aku inginkan dengan merevisi dan mengubah bagian-bagian tertentu. Menempatkan tulisan sebagai sebuah kanvas yang bisa direvisi kembali pada dasarnya sebuah hal yang revolusioner buatku. Selama di bangku pendidikan, tulisan yang aku buat, baik sebagai catatan maupun tugas, banyak ditempatkan sebagai sesuatu yang final setelah selesai ditulis - bahkan ketika membaca ulang tulisan, jarang terbesit pikiran untuk menambahkan bagian baru untuk memperbarui isinya, jika ada. Dalam hal ini, model penulisan yang didorong oleh Obsidian (dan dalam beberapa hal, digital garden ini) yang bisa dilihat rangkumannya di video ini, yang mengedepankan konektivitas catatan dan ide yang bisa diubah dan diperbaiki sewaktu-waktu menjadi salah satu paradigma menulis yang menarik buatku. Saat ini pun aku masih berusaha beradaptasi dengan penulisan seperti ini.
To write is to read.
Konsep Mirroring, atau yang disebut sebagai Chameleon Effect oleh Tanya L. Chartrand & John A. Bargh, bisa dihubungkan dengan ucapan di atas:
The Chameleon Effect: The Perception-Behavior Link and Social Interaction
As the saying goes, “Monkey see, monkey do.” Primates, including humans, are quite good at imitation. Such imitation, in all primates, has generally been considered to be an intentional, goal-directed activity. …Recently, however, several studies have documented a passive, direct effect of social perception on social behavior, an effect that is unintended and not in the service of any discernible purpose. …As the popular meaning of the phrase “to ape” is “to intentionally imitate,” perhaps the monkey metaphor may not be the most appropriate animal metaphor for the phenomenon. We believe that the chameleon is a better one.
Imitasi, dalam konteks ini, adalah sesuatu yang bisa dianggap sebagai sebuah proses alamiah. Termasuk dalam tulis menulis. Mendasarkan gaya penulisan dari buku yang telah dibaca karena pikiran kita menginternalisasikannya sebagai sesuatu yang lumrah atau umum digunakan - tanpa disadari.
Seperti yang tertulis di atas, ide bahwa tulisan adalah sesuatu yang dinamis merupakan sesuatu yang baru untukku. Tapi ini masuk akal - ide, pengetahuan yang kita miliki bukanlah sesuatu yang statis. Ia berkembang sebagaimana kita mengetahui hal yang baru, diinternalisasikan, dipahami, dan kemudian disampaikan. Dalam hal ini, ide tadi dituangkan dalam bentuk tulisan alih-alih berdiam di dalam pikiran semata.
Yang perlu diperhatikan kemudian adalah gaya penyampaiannya, sebagaimana mengubah media penyampaian ide dari esai bebas menjadi video ataupun podcast. Ini, dalam pandanganku, pada akhirnya jatuh kepada preferensi dan kebiasaan menulis seperti apa yang dimiliki oleh penulisnya. Buatku, saat ini penulisan untuk entri digital garden dan tulisan blog masih cukup berbeda dari sisi struktur dan gaya penulisan. Tapi ini kedepannya bisa saja berubah, seiring dengan semakin nyamannya aku menulis entri pemikiran
dan sintesis
, dua kategori yang kurang lebih banyak bersinggungan dengan tulisan-tulisan blog yang sudah aku buat sebelumnya. Tambahan pengorganisasian seperti kategori tambahan (saat ini sepertinya berupa kategori seperti catatan
, opini
, dll.) bisa jadi turut mengubah hal ini kedepannya.