Konteks: Drama sosmed seputar keengganan belajar bahasa Inggris untuk menikmati konten berbahasa asing, yang menjalar topik pembahasannya kemana-mana.

Aku nulis ini untuk dokumentasi pemikiran, daripada disimpan sebagai monolog yang bakal kelupaan besok atau bahkan nanti sore.


Salah satu akar dari susahnya menumbuhkan niat untuk belajar bahasa asing itu karena nggak ada nilai aplikatifnya dalam kehidupan sehari-hari.

Sepengalamanku belajar dari SD sampai SMA (kuliah sudah diwajibkan paham jadi beda lagi konteksnya), bahasa Inggris itu sesuatu yang dilihat sebagai skill penting yang harus dipelajari. Entah dari sekolah ataupun daerah lain seperti apa, tapi kenyataan kalau ini ada di tiga tingkat pendidikan dasar yang aku alami itu rasanya bukan sebuah kebetulan. Dan ini ngomonginnya di rentang waktu 2000an sampai 2016an. Mungkin berpengaruh, mungkin juga enggak.

Kenapa skill penting? Karena kerjaan bagus di waktu itu dituntut untuk bisa bahasa Inggris yang mahir. Kemahiran ini penting buat poin selanjutnya, tapi aku pengen fokus sementara ke tuntutan ini. Ada alasan untuk mempelajari bahasa Inggris. Ditambah lagi, sebagai murid yang punya akses teknologi berupa komputer, laptop, dan handphone waktu itu, dituntut untuk bisa berbahasa Inggris buat menggunakannya. Tambahan lagi alasan untuk belajar. Selain itu, gawai-gawai ini bisa membuka akses kepada platform digital lain yang juga menggunakan bahasa Inggris untuk digunakan. Buatku, ini sarana dan alasan lain buat belajar bahasa Inggris (di facebook, banyak ngeadd teman2 internasional. komunikasinya ya pake bahasa Inggris. Nyari-nyari game ya butuh skill bahasa Inggris kalau nggak nemu download atau crack di website berbahasa Indonesia. heck, menjelajah web butuh paham istilah-istilah asing yang akarnya banyak dari bahasa Inggris).

Ada jembatan untuk menghubungkan target bahasa Inggris yang mahir, profesional, baku dengan penggunaan bahasa Inggris yang aplikatif/diterapkan secara keseharian sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. medioker, simpel, kasual.

Jembatan ini, kalau aku pikir-pikir lagi, makin lama makin rapuh, atau tertutup semak-semak dan tetumbuhan sampai nggak kelihatan sebagai sebuah penghubung. Belajar bahasa Inggris buat kerja? Bukan lagi jadi advantage, tapi necessity. Standarnya masih sama tinggi, tapi jadi sesuatu yang wajib. Perlu mahir pula. Sedangkan di dalam keseharian, aksesibilitas gawai, ataupun bahkan konten dan produk yang di”konsumsi” itu makin lama makin memudahkan untuk mereka yang nggak bisa berbahasa Inggris (ini bukan sesuatu yang salah, per se. hanya saja efek sampingnya berpengaruh ke yang dibahas). Nggak ada lagi, atau paling tidak berkurang sampai sedemikian rupa, alasan atau dorongan untuk belajar bahasa Inggris dalam keseharian di luar apa yang diwajibkan di sekolah.

Masalahnya, belajar bahasa itu perlu dipraktekkan. diamalkan. Kalau angan-angannya belajar bahasa asing tapi pada akhirnya nggak pernah digunakan, dibaca, diucapkan lebih dari sebatas hafalan, ya lama-lama bakal hilang. Nggak berbekas di ingatan, ataupun efek sampingnya, dianggap sebagai sesuatu yang jauh dari realita dan dianggap sebagai kemustahilan. “Buat apa kalau begitu belajar yang serius?”, atau bahkan “buat apa belajar?” mungkin pikirnya begitu. Ini berlaku juga buat semua ilmu lain, lama kelamaan bakal pudar kalau nggak dipraktekkan atau dibuat dekat dengan keseharian.

Aku nggak bisa menyalahkan tiap individunya secara keras, dalam hal ini. Prioritas itu perlu dibuat, memang, dan tiap-tiap orang punya prioritasnya masing-masing. Tetapi di sisi lain, ya pengaruhnya jadi seperti ini.

Kalau kembali ke relasi tujuan belajar yang wajib bisa bin mahir dengan nggak adanya dorongan untuk diamalkan dan dipraktekkan sehari-hari, bayangan belajar bahasa Inggris kemudian makin menjadi momok. Siklus setan seputar habit dan goals, mungkin. Perlu belajar sampai mahir, tapi nggak ada tempat dan kesempatan untuk belajar dari tingkat yang mudah dulu. Kalau belajar lewat pengamalan, dikira ngomong wicis kayak jakselian (ini sentimen klasis, btw, baik elitisme penggunaan campuran bahasa Inggris dan Indonesia dalam keseharian yang hanya mengemulasi rupa bahasanya tanpa ada niatan untuk diseriusi sebagai sebuah pembelajaran, dan sikap anti untuk pencampuran bahasa seakan-akan sebagai sesuatu yang menjijikkan). Makin males belajar. ulang dari awal. Akhirnya belajar bahasa Inggris, dan bahasanya itu sendiri, dianggap sebagai sesuatu yang di atas awan. Di satu sisi didewakan sebagai sebuah golden standard yang agung, harus bisa ngomong mahir (apalagi kalau konteksnya untuk bisnis), di sisi lain tidak dekat dengan bumi - dengan keseharian.

Ini, menurutku, alasan kenapa banyak berkembang sentimen anti bahasa asing dan “mana konten bahasa Indonesia saya” yang makin keliatan akhir-akhir ini.


Sebelumnya juga sempat diskusi dengan seorang kawan, Dimas, seputar respon merusak dari sentimen ini seputar game Wuthering Waves dengan 1-star review bomb dari netizen Indonesia. Konklusinya, masalah utamanya bahkan bukan di sentimen anti bahasa asing tadi, tapi penormalan penggunaan review bomb sebagai sarana protes, atau bahkan hanya sekedar pelampiasan ego semata, di masyarakat digital Indonesia kalau ada masalah sedikit saja dengan satu korporasi besar. Bakal ditulis secara lebih mendalam kapan-kapan, tapi intinya reaksi yang “tidak secara baik-baik” di Internet itu sudah jadi default state buat netizen Indonesia, tanpa pandang bulu yang salah aktor lokal atau internasional.

Dan juga, tentang masalah sulitnya belajar sesuatu. Kalau kesimpulan tulisan di atas, selama memang ada alasan sebagai pendorong belajar apapun, pasti bisa dipelajari. Tapi jangan dilihat dengan metrik tertentu yang bisa dipukul rata, baik dari durasi belajar dan hasilnya seperti apa. Belajar jangan dilihat seperti tugas mengeruk gunung dengan sendok kayu. Normalisasikan belajar dengan tenggat dan durasi waktumu sendiri, dengan tujuan yang diatur sendiri pula, sesuai dengan kebutuhanmu. Tidak semua hal perlu dipelajari sampai di tingkat mastery. Atau dalam kata lain, target akhir belajar itu jangan disamaratakan dengan orang lain, baik konteksnya lebih tinggi atau lebih rendah.

Bahasa itu fungsi utamanya komunikasi - selama pihak yang berkomunikasi paham dengan apa yang ingin diutarakan oleh pihak lainnya, jalan sudah.