Sebagaimana kolom opini seharusnya, tulisan ini lebih banyak didasarkan kepada internalisasi/pemahamanku seputar kesehatan mental dan depresi, setelah mengalami dan mampu mengatasi fase depresi klinis milikku sendiri sejak empat tahun terakhir, dengan gejala yang sudah muncul setidaknya empat tahun, atau bahkan tujuh tahun sebelumnya.
Tujuan utama artikel ini adalah menjabarkan perspektif yang lebih dekat daripada artikel teknis seputar depresi, dari orang yang pernah mengalaminya.
What I’m saying is, depresi bukan sesuatu yang perlu dinormalisasikan sebagai bagian dari hidup.
Kenapa Depresi Susah Diatasi
Alasan dari munculnya depresi di tiap-tiap orang bisa bermacam-macam, mulai dari stressor yang berlebih hingga akhirnya merasa overwhelmed dengan masalah tersebut, ataupun sebuah masalah besar yang kemudian menjadi trauma dan mengganggu apa yang seharusnya dilakukan. Dampak dari depresi ini jangan kemudian disalahartikan sebagai kemalasan semata. Aku sendiri pernah merasakan bagaimana rasanya terbebani dengan depresi hingga mau melakukan apapun itu susah, kecuali yang bisa membuatku sedikit terlupa dengan depresi itu - distraksi, tetapi yang seringkali terpikirkan di masa seperti itu adalah distraksi yang sifatnya sedikit menyenangkan. Pada akhirnya, masalah utamanya, yang istilah medisnya disebut avolition - ketidakmampuan untuk memiliki semangat dalam menjalani ataupun memulai aktivitas - paling banter hanya bisa diabaikan, dan seringkali juga susah untuk diabaikan. ini tantangan utama untuk mengatasi depresi - memulai untuk menyelesaikannya sebagai sebuah masalah.
Karena ini, beberapa psikolog/psikiater akan memujimu kalau kamu berani untuk memulai konsultasi. Paling tidak kamu sudah merasa kalau kondisimu bukanlah sesuatu yang “normal” dan perlu untuk dibenahi, dan kamu sudah berani untuk melakukan langkah pertamanya meskipun dengan kondisi yang sedemikian rupa.
Bagaimana kalau kamu merasa enggan berkonsultasi ke mereka yang bisa menanganinya secara profesional? Kembali lagi, yang penting adalah kamu sudah merasa bahwa kondisimu itu perlu dibenahi. Mulai dari yang gejalanya ringan - sifat pesimistik kepada hidup, merasa bahwa apa yang kamu lakukan di fase hidupmu sebelumnya (atau mungkin saat ini) adalah sesuatu yang salah dan perlu disesali - hingga yang berat seperti avolition itu tadi. Yang penting adalah langkah selanjutnya. Aku bisa menulis panjang lebar seputar apa-apa saja yang bisa menjadi gejala dari depresi ringan, tapi sikap pertamanya ya itu tadi. Merasa bahwa ini perlu diubah.
Penanganan Profesional
Penanganan profesional untuk depresi di Indonesia menurutku sudah lumayan bagus, paling tidak dari sisi akomodasi untuk mengakses penanganan tersebut.
Psikolog maupun psikiater sekarang bisa diakses dengan menggunakan BPJS, kalau kamu nggak bisa mengeluarkan uang ratusan ribu per bulannya untuk kontrol dan akses obat, kalau perlu. Depresi ringan seringkali hanya membutuhkan berubahnya kondisi yang menjadi stressor, tetapi bisa jadi antidepresan bisa menangani masalahnya dalam jangka pendek. Yang jadi masalah sekarang adalah apakah psikolog/psikiater yang kamu tuju cocok dengan kamu dan masalahmu.
Secara pribadi yang sudah pernah ke psikiater privat (yang memerlukan bayar konsultasi dan obat sendiri, biasanya dengan membuka klinik sendiri alih-alih di Rumah Sakit) maupun psikolog dan psikiater publik di puskesmas dan Rumah Sakit umum, aku alhamdulillah belum pernah bertemu dengan yang jelek. Di sisi lain, aku juga beberapa kali mendengar kabar dari status fb kawan bahwa dokter yang mereka rujuk memiliki sikap yang cukup buruk, baik dari sisi reassurrance maupun dari sisi penanganan medisnya. Jadi diingat-ingat saja, kalau bisa berpindah dokter ke klinik ataupun Rumah Sakit lain ketika dirasa nggak cocok, coba pindah saja. Paling tidak kamu punya pengalaman seputar apa saja yang perlu dibicarakan ketika konsultasi perdana.
Kalau kamu punya uang lebih untuk ke klinik privat dan merasa kalau itu worth it, gas saja! Jatuhnya memang ke placebo effect (spending more money makes your experience a bit better), tapi bukan berarti nggak ada efeknya. Kalau nggak punya, manfaatkan BPJS dan datang ke puskesmas terdekat yang punya poli jiwa/psikologi, dan setelah menjabarkan keluhan, bisa tanyakan apakah ini perlu rujuk lebih lanjut ke Rumah Sakit terdekat.
Yang perlu kamu sebutkan di awal konsultasi adalah:
- Kamu merasa punya gangguan (x,y,z). Jabarkan yang sekiranya terlintas paling cepat sebagai masalah yang paling mengganggu saja. Kalau perlu ini bisa dicatat terlebih dahulu
- Sebutkan bahwa kamu merasa ini mulai mengganggu kegiatan saya.nggak perlu dijabarkan kegiatannya, tapi kalau ditanya lebih lanjut jawab saja sejujurnya - apakah kondisi saat ini masih menganggur dan ini menghambatmu mencari pekerjaan baru, ataupun yang lain. Psikolog/Psikiater yang profesional nggak bakal ngejudge kondisimu, dan peranmu di konsultasi ini adalah menjabarkan apa saja yang bisa jadi terkait dengan munculnya masalahmu. Dokter nggak bisa menangani penyakit kalau nggak tahu gejalanya, dan gejala dari penyakit mental itu perlu dikomunikasikan.
- Harusnya setelah itu kamu bakal ditanya lebih lanjut mengenai apa yang sudah kamu jabarkan, dan ini bisa bermacam-macam. Jawab saja sejujurnya atau sekenanya. Mau dengan banyak jeda kalau perlu mikir dulu juga nggak masalah, nggak usah keburu-buru. Harusnya, kamu juga diberi feedback seputar langkah apa saja yang sudah kamu lakukan dan bisa kamu lakukan untuk sedikit mengubah kondisimu.
Setelah itu bisa jadi kamu diberi verdict depresi macam apa yang kamu punya, atau bisa jadi disabilitas/penyakit mental lain yang bisa menyebabkan depresi itu muncul. Ini sebenarnya nggak sebegitu penting amat buat kamu, kecuali memang kamu penasaran dengan hasilnya seperti apa.
Pengalamanku di psikiater pertama yang bukanya di klinik privat, aku bahkan nggak dikasih tahu sebenernya aku sakit apa. Yang aku tahu setelah sesi konsultasi selesai adalah aku diresepkan obat yang bisa ditebus di apotek klinik. Udah, itu aja. Baru setelah obatnya disesuaikan di kontrol selanjutnya (kalau nggak salah biar nggak terlalu mahal) aku sempat nyari sebenernya obat apa yang aku minum dan untuk penyakit apa. dan BAM, ternyata skizofrenia. Baru setelah berpindah ke jalur BPJS dengan konsul ke psikolog puskesmas faskes 1 aku tahu secara pasti penyakit apa yang aku derita, karena pencatatannya memang diperlukan untuk urusan rujuk ke rumah sakit sebagai cara akses obat yang lebih mudah.
Kalau ternyata depresimu bukan termasuk depresi klinis, seringkali Cognitive Behavioural Threapy atau CBT (hus, jangan ketawa) cukup untuk menangani masalahmu sembari menunggu kesempatan hidup yang lebih baik. Inti dari terapi ini adalah rewiring/pengkondisian ulang mindset yang ada di pikiranmu ke arah yang lebih baik, setahap demi setahap. Kalau ternyata kamu mengidap depresi klinis, bisa jadi kamu bakal diresepkan anti-depresan sebagai awal uji coba penanganan, yang nantinya bisa jadi disesuaikan di kontrol selanjutnya seiring dengan apakah pengobatannya berhasil atau tidak. Yang penting, kalau diresepkan obat, jangan terlalu sering nggak diminum. Pengalamanku pribadi, mungkin aku bisa nggak merasa relaps muncul sampai 5-10 hari nggak minum obat, tapi setelah terakhir relaps waktu puasa 2024 kemarin aku paling banter cuma nggak minum obat sehari, terutama obat anti-psikotik untuk skizofrenianya. Lagi, ini bukan anjuran medis. Kalau bisa jangan nggak minum obat kalau perlu. Kalau ternyata ada efek samping yang berlebih (efek samping yang aku rasakan biasanya kantuk dan tidur berlebih, tapi ada yang mengeluhkan pusing yang cukup terasa ataupun nafas yang terganggu), coba konsultasikan waktu kontrol selanjutnya, dan sebutkan kalau kamu ingin menyesuaikan dosis obat ataupun ganti obat supaya efek samping itu tidak muncul terlalu sering/hebat.
Untuk pasien BPJS, sepengalamanku biasanya puskesmas nggak punya akses obat yang banyak untuk anti-depresan ataupun anti-psikotik. Kamu bisa minta rujuk ke Rumah Sakit kalau ternyata puskesmas nggak punya stok obat, dan bisa jadi disarankan oleh psikolog puskesmas untuk rujuk jika masalahnya memang nggak bisa diatasi dengan proses feedback semata. Ini kalau faskes 1 yang kamu punya adalah puskesmas (di Surabaya begini). Kalau faskes 1 adalah rumah sakit umum/daerah ya jelas nggak perlu proses ini, kecuali memang Rumah Sakitnya nggak punya psikolog/psikiater yang mumpuni.
Dan selesai! Kamu sudah menyelesaikan langkah awal penanganan profesional untuk depresi. Langkah selanjutnya, atau alternatif bagi kamu yang merasa segan (bisa jadi karena lingkungan, ataupun kamu merasa ragu-ragu untuk mencoba bertemu orang asing yang relatif ahli di bidang ini untuk konsultasi), kamu memerlukan support system yang memadai dari lingkungan teman ataupun keluarga.
Support System
Pemahamanku seputar support system adalah kerangka yang bisa membuatmu merasa lebih baik untuk mulai berubah dari kondisi depresi menjadi normal. Idealnya ini adalah teman dekat yang mau dan dalam kondisi mampu untuk mendukung perubahan ini, istilahnya menjadi caretaker. Keluarga itu… agak hit and miss kalau untuk urusan ini. Bahkan kalau kamu cukup dekat dengan keluarga sekalipun, seringkali mereka punya persepsi yang berbeda ataupun bahkan bisa menghambat proses perubahanmu. Lebih aman teman lah, intinya.
Tapi bukan berarti semua temanmu perlu kamu beri cerita soal masalahmu ini, ya. Cari teman yang sekiranya bisa memberikan umpan balik konstruktif soal masalah-masalah hidupmu. Biasanya mereka bisa menjadi caretaker yang baik, selama kamu juga nggak sampai benar-benar bergantung kepada mereka untuk urusan ini itu terkait depresi ini.
Idealnya memang support system perlu punya presensi secara nyata di keseharian. Mereka bisa jadi membantu nganter kamu untuk konsultasi pertama kali, ataupun kontrol-kontrol selanjutnya. Dan sedikit berkeluh kesah sekaligus meminta umpan balik bisa lebih enak ketika ketemuan secara langsung daripada lewat chat. Tapi kalau memang nggak ada sosok yang seperti itu di dunia nyata, teman onlinemu bisa jadi caretaker, selama memang kamu bisa mempercayai mereka. Terkadang malah lebih bagus begitu.
Kalau kamu menggunakan support system ini sebagai pengganti konsultasi profesional, kamu harus yakin kalau mereka bisa membantu menyelesaikan masalah, sedikit maupun banyak. Bisa jadi memberi umpan balik yang konstruktif seputar kamu harus bagaimana, hingga memberi dukungan secara lebih intensif dengan menjadi sosok dekat yang menemani kamu mengambil langkah perubahan sedikit demi sedikit, semampu mereka.
Kembali lagi, jangan sampai kamu benar-benar bergantung kepada support systemmu untuk berubah. Sebagai dorongan, iya, tapi kamu juga harus berusaha sedikit demi sedikit untuk mengambil langkah tersebut. Peran mereka adalah sebagai reassurance bahwa apa yang kamu lakukan sudah berada di jalan yang benar.
Dirimu Sendiri
Be kind to yourself. Apalagi kalau kamu memang benar-benar memulai sendiri upaya mengatasi depresi ini. Sedikit langkah maju lebih baik daripada nggak ada langkah sama sekali. Don’t beat yourself when you’re just trying to be better. Kamu sendiri yang tahu seberapa cepat atau lambat pacing yang kamu inginkan, dan tinggal disesuaikan dengan seperti apa kondisimu. Nggak usah maksa, tapi juga jangan terlalu dibuat santai kalau kamu memang ngerasa itu sesuatu hal yang perlu.
Beberapa teknik manajemen seperti journaling (bisa dengan mencatat apa yang kamu pikirkan dari hari ke hari) bisa membantumu mencatat seberapa jauh perubahanmu dari waktu ke waktu. Kamu juga bisa mencari beberapa kiat self-help penanganan depresi, dan sesuaikan dengan apa yang bisa kamu lakukan dan apa yang ingin kamu lakukan.
As always, good luck on your own endeavor in life, whatever it is.