Dari entri Wikipedia tentang sekularisasi:
wikipedia:Secularization
In sociology, secularization (British English: secularisation) is a multilayered concept that generally denotes “a transition from a religious to a more worldly level.”1 There are many types of secularization and most do not lead to atheism, irreligion, nor are they automatically antithetical to religion.2
Aku lebih suka menjelaskan sekularisasi sebagai waning of faith - penggerusan kepercayaan, namun tidak sampai hilang sepenuhnya. Ini berhubungan dengan poin kedua dari penjabaran di atas: sekularisme tidak serta merta berarti hilangnya kepercayaan agama ataupun ateisme. Ia masih dapat berkembang bersamaan dengan masyarakat religius, baik sebagai cognitive dissonance (dimana seseorang memiliki kepercayaan beragama tetapi tidak kemudian percaya sepenuhnya terhadap agama tersebut) ataupun dalam kondisi dimana seseorang memiliki pandangan sekuler di dalam kelompok masyarakat yang religius. It’s not mutually exclusive.
Meskipun pencarian web sekilas menunjukkan bahwa isu sekularisme secara populer (liputan/pembahasan non-ilmiah) lebih banyak dibahas di masyarakat barat seputar agama kristen, aku masih ingat jelas pada saat sekitar tahun 2010-an isu ini termasuk banyak digaungkan di Indonesia, kalau tidak salah oleh buletin Hizbut Tahrir, yang kalau tidak salah sekarang sudah dikategorikan sebagai ekstremis. Mungkin ini alasannya isu sekularisme sudah luput dari diskursus islam Indonesia sekarang.
That being said, kecenderungan untuk mengikis agama dari aspek-aspek kehidupan manusia sekarang memang terjadi. Jika membahas sekularisme politik, ini sudah terjadi sejak pemisahan gereja dan negara pada perjanjian Westphalia di negara barat - penempatan negara barat sebagai standar modernisme pada akhirnya, dalam pandanganku, turut mendorong sekularisme di negara-negara dengan masyarakat mayoritas islam, karena berpengaruh kepada kepentingan negara dan juga bagaimana negara perlu bersikap di kancah internasional. Ini juga termasuk di negara kerajaan islam, seperti Arab Saudi, dalam bentuk cognitive dissonance baik di dalam pemerintahan maupun masyarakatnya (after all, politik tidak hanya berpaku di tingkat atas, tapi juga bawah) - di dalam beberapa aspek kebijakan/produk kultural yang sifatnya simbolis untuk agama islam ditegakkan, sedangkan aspek lain seperti arah kebijakan negara (contoh terbesarnya adalah relasi Arab Saudi dengan negara barat seperti Israel dan Amerika Serikat) dan prioritas gaya hidup dan persepsi masyarakatnya lebih dekat kepada negara barat (tetapi juga masih memiliki persepsi islamik - that is the point of secularization).
Impetus menulis entri ini adalah post Facebook yang dishare oleh beberapa kawan, tapi yang paling berpengaruh adalah caption yang dibuat oleh salah satu kawan, Jafar.
Gambar dari post asli dan caption terkait
Caption dari Jafar:
Apa pernah ada judul yang ngebahas mengapa fearmongering lebih sering jadi kartu paling pertama dikeluarin kalau ngajarin Islam di Indonesia mengingat, lucunya, awal penyebaran Islam disini itu dominan berasal dari da’i sufi yang dimana sufisme cenderung mengutamakan “gimana caranya menjadi kekasih Allah” daripada berputar-putar pada topik “surga dan neraka” (Bukan berarti gua juga mau ngikut kalo ada yang tradisinya nyeleneh tho)
Aku pernah dengar dari da’i di lembaga dakwah di Inggris, dakwah syariat yang efektif itu lajurnya menjelaskan terlebih dahulu bahwa, “karena Allah memerintahkan demikian melalui firman-Nya”, kemudian baru menjelaskan pemahaman dan penafsiran manusia kenapa Allah memerintahkan demikian melalui bisa itu riwayat hadith atau pengamatan dampaknya pada kehidupan manusia di masyarakat, sedangkan kartu “surga-neraka” kudu jarang-jarang dimainkan kecuali kalo udah sangat diperlukan.
Apa ada yang salah dari pendidikan agama di Indonesia, atau memang didesain demikian?
Of course, ini nggak secara langsung menyebut sekularisme, tapi setelah mikir apa alasan dari munculnya fearmongering seperti ini, konsep terkait yang terpikir olehku adalah sekularisme.
Aku sendiri sekarang punya pemahaman bahwa pada akhirnya, yang menentukan sejauh apa faith dipraktekkan oleh seseorang adalah persepsi orang itu sendiri - ini punya hubungan dengan sekularisme di masyarakat; meskipun seseorang percaya kepad agama islam, termasuk semua rukun imannya, belum tentu kemudian mereka percaya sepenuhnya terhadap rukun iman tersebut, ataupun menempatkannya di tingkatan yang sangat penting sehingga menjadi pengarah kehidupan mereka.
Religious belief itu sangat kuat di masa lampau, setidaknya yang paling banyak aku tahu sejak abad pertengahan hingga abad ke-19 (1800an). Meskipun sumber yang aku ketahui banyak terkait dengan kepercayaan kristen di masa-masa tersebut3, masih bisa terbayangkan bahwa kepercayaan terhadap agama islam sejak Rasulullah Muhammad SAW menyebarkan agama islam di jazirah arab hingga setidaknya masa-masa kejayaan kesultanan Ustmani/Ottoman Empire sama kuatnya. Paling tidak, itu yang bisa aku bayangkan setelah dibesarkan oleh cerita kenabian dan beberapa anekdot terkait keislaman setelahnya pada saat mengaji dan sholat jumat, ketika mengingat kembali cerita-cerita itu setelah tahu bahwa kepercayaan agama di masa lampau sangat kuat dan (menurutku) berbeda dibandingkan kepercayaan agama di masa sekarang.
Dalam pandanganku, upaya dakwah melalui fearmongering ini pada dasarnya upaya mengembalikan wujud faith yang ada di masa lampau, berangkat dari pemikiran faith yang sedemikian rupa, atau berusaha appealing terhadap pemikiran tersebut. Dalam kata lain, konservatisme agama. Ketika konservatisme ini berbenturan dengan wujud dari faith yang ada di masa modern, dimana tidak hanya didasarkan kepada belief yang hampir absolut kepada agama tersebut, jelas bentrok sehingga dianggap sebagai sesuatu yang jelek, dan bisa berujung kepada berkurangnya atau bahkan ditinggalkannya kepercayaan agama tersebut.
Tetapi bukan berarti esensi dari agama (yang bisa aku sebutkan adalah agama islam, karena hampir belum pernah mendalami teologi kristen dan agama lain) sedemikian rupa sehingga ada dikotomi antara hanya keras (seperti yang digambarkan fearmonger) dan hanya lembut. It is, after all, bentuk interpretasi, internalisasi, dan praktik (atau pengamalan) dari kitab suci. Ini bentuk pemahamanku sebagai orang yang belum banyak mendalami/ngajeni majelis islam, sih.
Kalau aku menggambarkan, Allah (dan agama islam) itu tegas, tapi juga penyayang. Tegas dalam hal sudah ada aturan sedemikian rupa atas benar dan salah, dan konsekuensinya seperti apa. Tapi Allah juga penyayang, dalam hal terlepas dari aturan tersebut, Ia selalu menerima kondisi umatnya dan menerima taubatnya, bahkan meskipun taubat itu dilanggar lagi dan lagi setelahnya, selama kembali bertaubat dan selalu diniati sedemikian rupa.
Footnotes
-
Latré, Stijn; Vanheeswijck, Guido (1 January 2015). “Secularization: History of the Concept”. International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences (Second Edition): 388–394. doi:10.1016/B978-0-08-097086-8.03113-5 - Dapat diakses melalui Sci-hub ↩
-
Eller, Jack (2010). “What is Atheism?“. In Zuckerman, Phil (ed.). Atheism and Secularity. Santa Barbara, Calif.: Praeger. pp. 12–13. - Quote terkait dapat dilihat di sitasi wikipedia. ↩
-
Ada banyak sumber terkait ini, tetapi yang sekiranya pertama kali muncul sebagai sebuah contoh, meskipun hanya offhand remark, adalah video Citation Needed tentang Flitch of Bacon, dalam pembahasan terkait Flitch Oath - https://www.youtube.com/watch?v=9kmlwZ_BOvU ↩